Selasa, 09 Maret 2010

Al Qardh

1. Pendahuluan
Secara umum, arti qardh serupa dengan arti jual beli, karena qordh adalah pengalihan hak milik harta atas harta. Qardh juga termasuk jenis salaf. Dalam literatul fiqh salaf as sholih qardh dikatagorikan dalam akad tathowui` atau akad saling bantu membantu dan bukan transaksi komersial.

2. Pengertian Qardh
Qardh secara bahasa, berarti al qot`u yang berarti pemotongan. Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang disebut qardh, karena merupakan “potongan” dari harta orang yang memberikan utang. Ini termasuk penggunaan ism masdar (gerund = noun verbal ) untuk menggantikan ism maf`’ul.
Secara syar`i menurut hanafiyah, adalah harta yang memiliki kesepadanan yang anda berikan untuk anda tagih kembali. Atau dengan kata lain suatu transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.

3. Landasan Syariah
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan hadis riwayat ibnu majah dan ijma para ulama. Sungguhpun demikian Allah SWT mengajarkan kepada kita, agar meminjamkan sesuatu bagi agama Allah SWT.
(1) Al-qur`an
“ Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (al-hadid ayat 11)
(2) Hadist
Dari sunnah rasul Ibnu Mas`ud meriwatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
“bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah ( senilai ) shodaqoh”(HR Ibnu Majah)
(3) Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa qardh boleh dilakukan, kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya.

4. Rukun dan Syarat
(1) Rukun :
- Muqridh (pemilik barang)
- Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam)
- Ijab qobul
- Qardh (barang yang dipinjamkan)
(2) Syarat sah qardh :
- Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak ada kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta.
- Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan qobul seperti halnya dalam jual beli.

5. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Qardh
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat :
Mazhab hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak menyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa dan telur, dan yang diukur , seperti kain bahan. Diperbolehkan juga meng-qardh roti, baik dengan timbangan atau biji.
Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bias dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar, ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta biji-bijian, karena pada riwayat Abu Rafi’ disebutkan bahwa Rasulullah SAW berutang unta berusia masih muda, padahal untuk bukanlah harta yang ditakar atau ditimbang, dan karena yang menjadi obyek salam dapat di hakmiliki dengan jual beli dan ditentukan dengan pensifatan. Maka bisa menjadi obeyek qardh. Sebagaimana harta yang ditakar dan ditimbang.
Dari sini, menurut jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memenen sehari, atau menempoati rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati rumahnya.

6. Hukum Qardh
Hak kepemilikan dalam qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad berlaku melalui qabdh (penyerahan). Jika seseorang berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh maka dia berhak menggunakan dan mengembalikan dengan yang semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi milik muqridh. Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan bukan gandum yang dihutangnya meskipun qardh itu berlangsung.
Abu Yusuf berkata muqtaridh tidak memiliki harta yang menjadi objek qardh selama qardh itu berlangsung.
Mazhab Maliki berpendapat, hak kepemilikan dalam shadaqah dan ariyah berlangsung dengan transakasi, meski tidak menjadi qabdh atas harta. Muqtaridh diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri. Baik harta itu memiliki kesepadanan atau tidak, selama tidak mengalami perubahan; bertambah atau berkurang, jika berubah maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.
Mazhab Syafi’I menurut riwayat yang paling shahih dan mazhab Hambali berpendapat, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Menurut Syafi’I muqtaridh mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dihutang adalah harta yang sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya dan jika yang dihutang adalah yang memiliki nilai, ia mengembalikan dengan bentuk yang semisal, karena Rasulullah saw telah berutang unta usia bikari lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata “sesunguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam membayar utang”.
Hanabilah mengharuskan pemgembalian harta semisal jika yang dihutang adalah harta yang bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para ahli fiqih. Sedangkan jika obyek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada dua versi : harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh, atau harus dekembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.

7. Qardh Yang Mendatangkan Keuntungan
Mazhab Hanafi dalam pendapatnya yang paling kuat menyatakan bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut disepakati sebelumnya. Jika belum disepakati sebelumnya dan bukan merupakan tradisi yang biasa berlaku, maka tidak mengapa. Begitu juga hukum hadiah bagi muqridh. Jika ada dalam persyaratan maka dimakruhkan, kalau tidak maka tidak makruh.
Mazhab Maliki : tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari harta muqtaridh, seperti menaiki untanya dan makan di rumahnya karena hutang tersebut dan bukan karena penghormatan dan semisalnya. Sebagaimana hadiah dari muqtaridh diharamkan bagi pemilik harta jika tujuannya untuk penundaan pembayaran hutang dan sebagainya,
Mazhab Syafi’I dan Hanabilah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat rumah orang tersebut dijual kepadanya. Atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar dari mutu yang lebih baik atau dikembaliakan lebih banyak dari itu. Karena Nabi SAW melarang hutang bersama jual beli.
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili jika seseorang mengutangkan kepada orang lain tanpa ada persyaratan tertentu, lalu orang tersebut membayarnya dari jenis yang lebih baik atau jenis yang lebih banyak, atau menjual rumahnya kepada pemberi hutang, diperbolehkan dan muqridh boleh mengambilnya berdasar pada riwayat Abi Rofii’bahwa ia berkata “ Rassulullah Saw pernah berutang unta seusia bikari kepada seseorang lalu Rasulullah mendapat unta sedekah. Lalu beliau menyuruh saya untuk membayar kepada oaring tersebut seekor unta bikari. Saya berkata “ ya Rasul, saya tidak mendapati kecuali unta berusia Rubai’yah dari jenis yang bagus, Rasulullah bersabda “berikanlah kepadanya, sesungguhnya sebaik baik kamu adalah yang paling baik membayar hutang”.

Ringkasnya, Qardh diperbolehkan dengan dua syarat.
(1) Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan tersebut untuk muqridh, maka para ulama sudah bersepakat bahwa ia tidak diperbolehkan. Karena ada larangan dari syariat dan karena sudah keluar dari jalur kebajikan, jika untuk muqtaridh, maka diperbolehkan. Dan jika untuk mereka berdua, tidak boleh, kecuali jika sangat dibutuhkan. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dalam mengartikan “sangat dibutuhkan”.
(2) Tidak dibarengi denagan transaksi lain, seperti jual beli dan lainnya. Adapun hadiah dari pihak muqtaridh, maka menurut Malikiah tidak boleh diterima oleh Muqridh karena mengarah pada tanbahan atas pengunduran. Sedangkan Jumhur ulama membolehkan jika bukan merupakan kesepakatan. Sebagaimana diperbolehkan jika antara Muqridh dan Muqtaridh ada hubungan yang menjadi fakor pemberian hadiah dan bukan karena hutang tersebut.

8. Aplikasi Dalam Perbankan
Akad qardh biasanya diterapkan sebagai berikut :
(1) Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya yang membutukkan dana talangan segera untuk masa yang relative pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
(2) Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
(3) Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil, atau membantu sector social. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu qardhul hasan.

9. Sumber Dana
Sifat qardh tidak memberi keuntungan financial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut :
(1) Qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek, seperti talangan danda di atas, dapat diambilkan dari modal bank.
(2) Qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan shadaqah, dan juga dari pendapatan bank yang dikategorikan seperti jasa nostro di bank korespondeng yang konvensional, bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan sebagainya.

10. Manfaat Qardh
Manfaat yang didapat oleh bank dari transaksi qardh adalah bahwa biaya andministrasi utang dibayar oleh nasabah. Manfaat lainnya berupa manfaat nonfinansial, yaitu kepercayaan dan loyalitas nasabah kepada bank tersebut.
Risiko dalam qardh terhitung tinggi karena ia dianggap pembiayaan yang tidak ditutup dengan jaminan.
Manfaat akad qard terhitung sangat banyak sekali diantaranya :
(1) Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek.
(2) Qardhul hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda bank syariah dengan bank konvensional yang didalamnya terkandung misi sosial, disamping misi komersial.
(3) Adanya misi sosial kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.

Refrensi
1. Zuhaili Wahbah, Dr, Fiqh Muamalah Perbankan Syariah
2. Antonio Syafii’I Muhammad, BANK SYARIAH wacana Ulama dan Cendikiawan
Sudarsono Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah